Bicaralah dengan Bahasa Hati

Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta.
Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang.
Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan.
Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan.
Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran.
Semua itu haruslah berasal dari hati anda.

Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula.
Kesuksesan bukan semata-mata betapa keras otot dan betapa tajam otak anda,
namun juga betapa lembut hati anda dalam menjalani segala sesuatunya.

Anda tak kan dapat menghentikan tangis seorang bayi hanya dengan merengkuhnya dalam lengan yang kuat. Atau, membujuknya dengan berbagai gula-gula dan kata-kata manis. Anda harus mendekapnya hingga ia merasakan detak jantung yang tenang jauh di dalam dada anda.

Mulailah dengan melembutkan hati sebelum memberikannya pada keberhasilan mu.

Senin, 16 November 2009

Urgensi dan Kiat-Kiat Shalat Khusyu’

Urgensi Khusyu’ dalam Shalat

1. Khusyu’ dalam shalat adalah cermin kekhusyu’an seseorang di luar shalat.

Khusyu’ dalam shalat adalah sebuah ketundukan hati dalam dzikir dan konsentrasi hati untuk taat, maka ia menentukan nata’ij (hasil-hasil) di luar shalat. Olerh karena itulah Allah memberi jaminan kebahagiaan bagi mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya.

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’” (Al-Mu’minun:1-3).

Begitu juga iqamatush-shalah yang sebenarnya akan menjadi kendali diri sehingga jauh dari tindakan keji dan munkar. Allah berfirman,

“Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah tindakan keji dan munkar” (Al-Ankabut:45).

Sebaliknya, orang yang melaksanakan shalat sekedar untuk menanggalkan kewajiban dari dirinya dan tidak memperhatikan kualitas shalatnya, apalagi waktunya, maka Allah dan Rasul-Nya mengecam pelaksanaan shalat yang semacam itu. Allah berfirman,

“Maka celakalah orang-orang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (Al-Maun: 4-5)

Shalat yang tidak khusyu’ merupakan ciri shalatnya orang-orang munafik. Seperti yang Allah firmankan,
“Sessungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri malas-malasan, mereka memamerkan ibadahnya kepada banyak orang dan tidak mengingat Allah kecuali sangat sedikit” (An-Nisa’:142).

Rasulullah saw. bersabda,
“Itulah shalat orang munafiq, ia duduk-duduk menunggu matahari sampai ketika berada di antara dua tanduk syetan, ia berdiri kemudian mematok empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (Diriwayatkan Al-Jama’ah kecuali Imam Bukhari).

2. Hilangnya kekhusyu’an adalah bencana bagi seorang mukmin.

Hilangnya kekhusyu’an dalam shalat adalah musibah (bencana) besar bagi seorang mukmin. Ini bisa memberi pengaruh buruk terhadap pelaksanaan agamanya, karena shalat adalah tiang penyangga tegaknya agama. Maka Rasulullah saw. berlindung kepada Allah, “Ya, Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak puas, mata yang tidak menangis, dan do’a yang tidak diijabahi”

3. Khusyu’ adalah puncak mujahadah seorang mukmin

Khusyu’ adalah puncak mujahadah dalam beribadah, hanya dimiliki oleh mukmin yang selalu bersungguh-sungguh dalam muraqabatullah. Khusyu’ bersumber dari dalam hati yang memiliki iman kuat dan sehat. Maka khusyu’ tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa oleh orang yang imannya lemah. Pernah ada seorang laki-laki berpura-pura shalat dengan khusyu’ di hadapan umar bin Khatthab ra. dan ia menegurnya, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ayat-ayat tentang khusyu’ dalam shalat:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 45-46).

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.” (Al-Mukminun: 1-2).

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).

Al-Mujahid berkata, “Di antara bentuk qunut adalah tunduk, khusyu’, menundukkan pandangan, dan merendah karena takut kepada Allah.

“Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Al-Insyirah: 7-8)

Al-Mujahid berkata, “Kalau kamu selesai dari urusan dunia segeralah malakukan shalat, jadikan niat dan keinginganmu hanya kepada Allah.”

Hadits-hadits dan atsar anjuran tentang shalat khusyu’

Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya tentu lebih mungkin bisa memperbagus shalatnya dan shalatlah sebagaimana shalatnya seseorang yang mengira bahwa bisa shalat selain shalat itu. Hati-hatilah kamu dari apa yang membutmu meminta ampunan darinya.” (Diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Firdaus, Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya hasan lalu diikuti Albani.

Abu Ayyub Al-Anshari ra berkata, seseorang datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Nasihati aku dengan singkat.” Beliau bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatnya seperti shalat terakhir dan janganlah mengatakan sesuatu yang membuatmu minta dimaafkan karenanya dan berputus asalah terhadap apa yang ada di angan manusia.” (Diriwayatkan Ahmad dan dinilai hasan oleh Albani).

Dari Mutharif dari ayahnya berkata, “Aku melihat Rasulullah saw shalat dan di dadanya ada suara gemuruh bagai gemuruhnya penggilingan akibat tangisan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi).

Utbah bin Amir meriyatkan dari Nabi yang bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudhu dan menyempurnakan wudhunya lalua melaksakan shalat dan mengetahuai apa yang dibacanya (dalam shalat) kecuali ia terbebas (dari dosa) seperti di hari ia dilahirkan ibunya.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Albani).

Khusyu’nya para Salafus Shalih

Abu Bakar

Imam Ahmad meriwatkan dari Mujahid bahwa Abdullah bin Zubair ketika shalat, seolah-olah ia sebatang kayu karena kyusyu’nya. Abu Bakar juga demikian.

Umar bin Khathab

Juga diriwayatkan ketika Umar melewati satu ayat (dalam shalat). Ia seolah tercekik oleh ayat itu dan diam di rumah hingga beberapa hari. Orang-orang menjenguknya karenanya mengiranya sedang sakit.

Utsman bin Affan

Muhammad bin Sirin meriwayatkan, istri Utsman berkata bahwa ketika Utsman terbunuh, malam itu ia menghidupkan seluruh malamnya dengan Al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib

Dan adalah Ali bin Abi Thalib, ketika waktu shalat tiba ia begitu terguncang dan wajahnya pucat. Ada yang bertanya, “Ada apa dengan dirimu wahai Amirul Mukminin?” ia menjawab, “Karena waktu amanah telah datang. Amanah yang disampaikan kepada langit, bumi, dan gunung, lalu mereka sanggup memikulnya dan aku sanggup.”

Zainal Abidin bin Ali bin Husain

Diriwayatkan pula ketika Zainal Abidin bin Ali bin Husain berwudhu, wajahnya berubah dan menjadi pucat. Dan ketika shalat, ia menjadi ketakutan. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Tahukan anda di hadapan siapa anda berdiri?”

Hatim Al-Asham

Seseorang melihat Hatim Al-Asham berdiri memberi nasihat kepada orang lain. Orang itu berkata, “Hatim, aku melihatmu memberi nasihat orang lain. Apakah kamu bisa shalat dengan baik?”

“Ya.”

“Bagaimana kamu shalat?”

“Aku berdiri karena perintah Allah.

Aku berjalan dengan tenang.

Aku masuk masjid dengan penuh wibawa.

Aku bertakbir dengan mangagungkan Allah.

Aku membaca ayat dengan tartil.

Aku duduk tasyahud dengan sempurna.

Aku mengucapkan salam karena sunnah dan memasrahkan shalatku kepada Rabbku.

Kemudian aku memelihara shalat di hari-hari sepanjang hidupku.

Aku kembali sambil mencaci diriku sendiri.

Aku takut kiranya shalatku tidak diterima.

Aku berharap kiranya shalatku diterima.

Jadi, aku berada di antara harap dan takut.

Aku berterima kasih kepada orang yang mengajarkanku dan mengajarkan kepada orang yang bertanya.

Dan aku memuji Tuhanku yang memberi hidayah kepadaku.

Muhammad bin Yusuf berkata,

“Orang seperti kamu ini berhak untuk memberi nasihat.”

Kecaman Bagi yang Meninggalkan Kekhusyukan

Sifat seorang mukmin adalah khusyu’ dalam shalat, sementara orang yang lalai dan tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya seperti sifat orang-orang munafik.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah yang (membalas) menipu mereka. Apabila hendak shalat, mereka melaksanakannya dengan malas dan ingin dilihat manusia serta tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisa’ : 142-143).

Inilah sifat orang-orang munafik dalam amal yang sangat mulia, shalat. Ini disebabkan pada diri mereka tidak ada niat, rasa takut, dan keimanan kepada Allah. Sifat lahiriyah mereka adalah malas dan sifat batiniyah lebih buruk lagi, agar dilihat oleh orang lain.

Seperti firman Allah yang lain,

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54).

Dalam kondisi apapun mereka tidak melakukan shalat selain bermalas-malasan. Karena tidak ada pahala yang mereka harapkan dan tidak ada yang mereka takutkan. Maka dengan shalat itu mereka hanya ingin menampakkan sebagai orang Islam dan demi kepentingan dunia semata.

Rasulullah pernah mengingatkan orang yang nampak tidak khusyu’ dalam shalatnya bahkan menyusuh orang itu untuk mengulanginya. Abu Hurairah meriwatkan,
Bahwa Nabi masuk masjid kemudian masuk pula seseorang ke dalam masjid lalu ia shalat dan mengucapkan salam kepada beliau. Nabi saw menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat.” Serta merta orang itu pun shalat lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw dan beliau besabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat,” tiga kali. Orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa lebih baik dari itu, maka ajarilah aku.” Beliau bersabda, “Apabila kamu hendak shalat beratkbirlah lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (Al-Fatihah). Lalu ruku’lah sampai kamu benar-benar tenang dalam ruku’, kemudian angkatlah sampai tegak berdiri, lalu sujudlah sampai tenang dalam sujud, kemudian bangunlah sampai kamu tenang dalam duduk, kemudian sujudlah sampai kamu tenang dalam sujud. Lakukan hal itu dalam semua shalatmu.”

Abu Darda’ meriwatkan dari Nabi saw. yang bersabda,
“Hal pertama yang diangkat dari ummat ini adalah khusyu’sampai-sampai kamu tidak menemukan seorang pun yang khusyu’.” (Thabrani dengan sanad baik dan dinilai shahih oleh Albani).

Thalq bin Ali Al-Hanafi ra berkata, Rasulullah saw bersabda,
“Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak tegak tulang sulbinya antara tuku’ dan sujudnya.” (Diriwayatkan Thabrani dan dishahihkan Albani).
Abu Abdullah Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya dalam shalatnya. Rasulullah saw bersabda, “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti ini tentu ia mati di luar agama Muhammad saw.” Lalu beliau bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematok dalam sujudnya bagai orang lapar lalu ia makan satu atau dua biji kurma namun tidak merasa kenyang sedikit pun.” (Diriwayatkan Thabrani di Al-Kabir, Abu Ya’la, dan Khuzaimah. Albani menilainya hasan).

Atsar tentang ancaman bagi mereka yang mengabaikan khusyu’ dalam shalat.

Umar bin Khatthab

Umar bin Khatthab ra pernah melihat seseorang yang mengangguk-anggukkan kepalanya dalam shalat lalu ia berkata, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”

Ibnu Abbas

“Kamu tidak mendapatkan apa-apa dari shalatmu selain apa yang kamu mengerti darinya.”

“Dua rakaat sederhana yang penuh penghayatan lebih baik daripada qiyamul-lail namun hatinya lalai.”

Salman

“Shalat adalah takaran. Barangsiapa memenuhi takaran itu akan dipenuhi (pahalanya) dan barangsiapa curang ia akan kehilangan (pahalanya). Kalian telah tahu apa yang Allah katakan tentang orang-orang yang curang terhadap takaran.”

Hudzaifah

“Hati-hatilah kalian terhadap kekhusyu’an munafik.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekhusyu’an munafik itu?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang kamu lihat jasadnya khusyu’ namun hatinya tidak khusyu’.”

Said bin Musayyib

Ia melihat seseorang yang main-main dalam shalatnya lalu berkata, “Kalau hati orang ini khusyu’ tentu raganya juga khusyu’.”

Ibul Qayyim

Lima tingkatan manusia dalam shalat:

Pertama: Tingkatan orang yang mendzalimi dan sia-sia. Orang yang selalu kurang dalam hal wudhu’nya, waktu-waktu shalatnya, batasan-batasannya, dan rukun-rukunnya.

Kedua: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Akan tetapi ia tidak bermujahadah terhadap bisikan-bisikan di saat shalat akhirnya ia larut dalam bisikan itu.

Ketiga: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Ia juga bermujahadah melawan bisikan-bisikan dalam shalatnya agar tidak kecolongan dengan shalatnya. Maka ia senantiasa dalam shalat dan dalam jihad.

Keempat: Orang yang ketika melaksanakan shalat ia tunaikan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batasan-batasannya. Haitnya tenggelam dalam upaya memelihara batasan-batasannya dan rukun-rukunnya agar tidak ada yang menyia-nyiakannya sedikitpun. Seluruh perhatiannya terpusat kepada upaya memenuhi sebagaimana mestinya, secara sempurna dan utuh. Hatinya benar-benar larut dalam urusan shalat dan penyembahann kepada Tuhannya.

Kelima: Orang yang menunaikan shalat seperti di atas (keempat) di samping itu ia telah meletakkan hatinya di haribaan Tuhannya. Dengan hatinya ia melihat Tuhannya, merasa diawasi-Nya, penuh dengan cinta dan mengagungkan-Nya. Seoalah-olah ia melihat da menyaksikan-Nya secara kasat mata. Seluruh bisikan itu menjadi kecil dan tidak berarti da ada hijad yang begitu tinggi antaranya dengan Tuhannya dalam shalatnya. Hijab yang lebih kuat daripada hijab antara langit dan bumi. Maka dalam shalatnya ia sibuk bersama Tuhannya yang telah menjadi penyejuk matanya.

Tingkatan pertama Mu’aqab (disiksa karena kelalaiannya), yang kedua Muhasab (dihisab), yang ketiga Mukaffar ‘Anhu (dihaspus kesalahannya), yang ketiga Mutsab (mendapatkan pahala), dan yang kelima Muqarrab min Rabbihi (yang didekatkan kepada Tuhannya) karena ia mendapatkan bagian dalam hal dijadikannya shalat sebagai penyejuk mata. Barangsiapa yang dijadikan kesenangannya pada shalatnya di dunia ia akan didekatkan kepada Tuhannya di akhirat dan di dunia ia diberi kesenangan. Lalu barangsiapa yang kesenangannya ada pada Allah dijadikan semua orang senang kepadanya dan barangsiapa yang kesenangannya bukan pada Allah ia akan mendapatkan kegelisahan di dunia.

Contoh Kekhusyu’an Salafus Shalih

Mujahid berkata, “Jika Ibnu Zubair shalat, ia seperti kayu.” Tsabit Al-Banani juga berkata, “Aku pernah melihat Ibnu Zubair sedang shalat di belakang Maqam, ia seperti kayu yang disandarkan, tidak bergerak sama sekali.”

Ma’mar, muazzinnya Salman At-Tamimi berkata, “Salman shalat Isya’ di sampingku lalu aku mendengarnya membaca Tabaraka al-ladzi bi yadihi al-Mulku, ketika sampai pada ayat ini, fa lamma raawhu zulfatan siiat wajuhul ladzina kafaru… Ia mengulang-ulang ayat tersebut samapai orang-orang yang berada di masjid ketakutan dan mereka pun bubar. Aku juga keluar meninggalkannya.”

Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat

A. Mempersiapkan kondisi batin

1. Menghadirkan hati dalam shalat sejak mulai hingga akhir shalat.

2. Berusaha tafahhum (memahami) dan tadabbur (menghayati) ayat dan do’a yang dibacanya sehingga timbul respon positif secara langsung.

Ayat yang mengandung perintah: bertekad untuk melaksanakan.

Ayat yang mengandung larangan: bertekad untuk menjauhi.

Ayat yang mengandung ancaman: muncul rasa tajut dan berlindung kepada Allah.

Ayat yang mengandung kabar gembira: muncul harapan dan memohon kepada Allah.

Ayat yang mengandung pertanyaan: memberi jawaban yang tepat.

Ayat yang mengandung nasihat: mengambil pelajaran.

Ayat yang menjelaskan nikmat: bersyukur dan bertahmid

Ayat yang menjelaskan peristiwa bersejarah: mengambil ibrah dan pelajarannya.

3. Selalu mengingat Allah dan betapa sedikitnya kadar syukur kita.

4. Merasakan haibah (keagungan) Allah ketika berada di hadapan-Nya, terutama saat sujud. Rasulullah bersabda,
Dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sedekat-dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (Riwayat Muslim)

5. Menggabungkan rasa raja’ (harap) dan khauf (takut) dalam kehidupan sehari-hari.

6. Merasakan haya’ (malu) kepada Allah dengan sebenar-benar haya’.

Rasulullah bersabda,

“Rasa malu tidak akan mendatangkan selain kebaikan” (Muttafaq ‘alaih).

Dan para ulama berkata, “Hakikat haya’ adalah satu akhlak yang bangkit untuk meninggalkan tindakan yang buruk dan mencegah munculnya taqshir (penyia-nyiaan) hak orang lain dan hak Allah.”

B. Mempersiapkan kondisi lahiriyah:

1. Menjauhi yang haram dan maksiat lalu banyak bertaubah kepada Allah.

2. Memperhatikan dan menunggu waktu-waktu shalat.

Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang hamba senantiasa dalam keadaan shalat selama ia berada di dalam masjid menunggu (waktu) shalat selama tidak batal.” (Bukhari Muslim).

3. Berwudlu’ sebelum datangnya waktu shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Barangsiapa berwudhu dengan baik kemudian keluar untuk tujuan shalat. Maka orang itu berada dalam shalat selama ia bertujuan menuju shalat. Setiap satu langkahnya ditulis kebaikan dan langkah lainnya dihapus kesalahan.” (Riwayat Imam Malik).

4. Berjalan ke masjid dengan tenang sambil membaca do’a dan dzikirnya.
“Jika kalian berangkat shalat hendaklah dengan tenang janganlah kalian berangkat shalat tergesa-gesa, jika kalian mendapatinya shalatlah dan jika ketinggalan maka sempurnakan.” (Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

5. Menempatkan diri pada shaf depan.

6. Melakukan shalat sunnah sebelum shalat wajib sebagai pemanasan.

7. Shalat dengan menjaga sunnahnya dan menghindari makruhnya.

Allahu a’lam.


sumber: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah dakwatuna

Minggu, 15 November 2009

Penyimpangan dalam jalan dakwah

Ustadz menjelaskan tujuan dakwah adalah menegakkan syariat Allah di muka bumi ini, di mana sistem kehidupan yang mengarahkan manusia pada suatu penghambaan hanya kepada Allah semata (tauhid uluhiyah). Apabila syariat Allah belum tegak, maka beragam prosesi penghambaan kepada selain Allah akan marak dan terus tumbuh subur, dan itu hanya bisa tegak dengan jalan dakwah pula.

Al-'Allamah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafidzahullah menjelaskan di dalam kitab Fiqih Prioritasnya, bahwa di antara ukuran yang patut dipedomani untuk menjelaskan mana yang lebih patut dan utama untuk dipelihara, dan mana yang didahulukan terhadap yang lainnya adalah perhatian terhadap urusan yang menjadi perhatian Al Quran.

Apa urusan penting yang menjadi perhatian Al Quran, salah satunya seperti firman Allah berikut ini:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (An Nahl: 36)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al Anbiyaa': 25)
"...Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama" (Az Zumar: 11)

Demikian pula pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ketika diperintahkan untuk berdakwah ke Yaman, sbb:
"Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah hal pertama yang engkau seru kepada mereka adalah persaksian tiada ilah (sesembahan untuk diibadahi) selain Allah. Jika mereka sudah melaksanakan itu, ajarkanlah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu..." (Hadits Riwayat Imam Muslim, Kitab Al-Iman)

Satu-satunya jalan untuk itu semua adalah dakwah. Bagaimana dengan politik praktis? Politik praktis atau mendirikan parpol itu hanya salah satu wasilah dakwah, dari kacamata dakwah parpol sama saja dengan penggunaan mikrofon di masjid, intinya tetap untuk dakwah. Sayangnya ada di antara dai hari ini saya lihat sudah terbalik dalam hal ini, dakwahlah yang menjadi wasilah politik.

Jumlah perolehan suara pemilu, persentase kemenangan pilkadal, dst bukanlah hal yang penting di dalam Islam, melainkan dakwah untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Kekuasaan dan daulah sudah dijanjikan oleh Allah di dalam Quran kepada orang-orang yang beriman, sbb:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku... (An Nuur: 55)

Perhatikan ayat di atas, janji Allah yang tidak akan tercederai sedikitpun. Perhatikan kalimat terakhir dalam penggalan ayat di atas, sebuah esensi tauhid uluhiyah, penyembahan semata hanya kepada Allah. Kurang shahih apa lagi semua itu wahai ikhwah? Tidakkah ini semuanya bukti yang cukup mengenai prioritas dakwah?

Masalahnya memang, jalan dakwah itu tidak mulus. Mursyid 'Amm kelima Al Ikhwan Al Muslimun Syaikh Mushthafa Masyhur rahimahullah menjelaskan bahwa jalan dakwah tidak ditaburi bunga-bunga harum, tetapi merupakan jalan sukar dan panjang. Sebab antara yang haq dan batil ada pertentangan nyata. Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. (buku Fiqh Dakwah, jilid 1, bab "Penjelasan Umum Sekitar Jalan Dakwah")

Hal ini sudah diperingatkan oleh Allah di dalam Quran, di antaranya sbb:
"Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu..." (Al An'aam: 10)
"Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka..." (Al An'aam: 34)

Dakwah juga harus dilakukan dengan keikhlasan, tanpa embel-embel upah atau ketenaran. Sebagaimana perkataan para Nabi yang diabadikan oleh Allah di dalam Quran, sbb:
"....Aku tidak meminta upah kepadamu..." (Al An'aam: 90)
"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku..." (Huud: 29)

Meskipun dakwah sudah memasuki orbit politik dengan segala kilau godaan, tetap tidak boleh kehilangan fitur keikhlasan ini, tidak boleh politik dijadikan sarana untuk mengumpulkan harta dengan segala dalih, entah mengqiyaskan itu dengan ganimah, jizyah, mahar politik, atau alasan menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan yang juga borju.

Ketika keikhlasan mulai "terganggu", biasanya mulai muncul berbagai penyimpangan dalam dakwah. Syaikh Mushthafa Masyhur rahimahullah menjelaskan, demikian penting keikhlasan dalam berdakwah sehingga Imam Hasan Al Banna rahimahullah menjadikannya salah satu bagian dari arkanul bai'ah. Menurut beliau, pengertian ikhlas ialah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahalaNya tanpa mengharapkan keuntungan, popularitas, kehormatan dan reputasi. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah, bukan menjadi pengawal kepentingan dan keuntungan. (Fiqh Dakwah, bab "Bentuk-Bentuk Penyimpangan Dakwah")

Penyimpangan dakwah dapat berbentuk penyimpangan tujuah (ghayah), sasaran (ahdaf), iltizam atau komitmen jamaah, pemahaman (fahm), sarana (wasilah), langkah (khiththah), dll. Ustadz Abu Ridho menjelaskan berbagai jenis penyimpangan ini terutama dalam konteks kondisi terkini yang saat ini terjadi di PKS, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua demi perbaikan dan kebaikan jamaah dan umat ini. Amin.

Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada ustadz Abu Ridho, tetap istiqomah untuk menjaga kelurusan dakwah ini. - DOS


Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Gerakan Da'wah Islam
Oleh: Abu Ridho

Alhamdulillah gerakan da'wah ini di Indonesia ini telah mencapai usia seperempat abad. Suatu usia yang tidak bisa lagi dipandang kanak-kanak. Ia telah dewasa dan melebihi usia baligh. Oleh karenanya, setiap muncul permasalahan yang menyangkut kehidupan gerakan ini mestilah diselesaikan secara mandiri dengan pendekatan yang bijak dan arif.

Berbagai peristiwa yang menghiasi perjalanan pergerakan ini, dari yang menyenangkan hingga yang menegangkan, dari masalah da'wah hingga daulah, tentu akan menjadi modal bagi proses pendewasaan gerakan da'wah ini. Beragam problema yang menggeluti pergerakan ini, niscaya akan menjadi suplemen yang akan mempercepat proses pembesaran tubuh gerakan ini, apabila disikapi secara positif.

Apabila gerakan ini istiqamah memegang prinsip-prinsip Islam dan setia mengikuti manhaj da'wah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, saya yakin, gerakan ini akan selamat mencapai tujuannya, walaupun dalam perjalanannya kerap ditimpa badai yang dahsyat. Tetapi sebaliknya, apabila gerakan ini menyimpang dari prinsip dan manhaj yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka yakinlah bahwa gerakan ini tidak akan berumur panjang. Dia akan mudah jatuh terjerembab, walaupun hanya terantuk kerikil kecil.

Dalam kesempatan ini saya akan mengungkapkan beberapa bentuk penyimpangan-penyimpangan dalam gerakan Islam yang dapat menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan gerakan da'wah Islam. Pembahasan ini sengaja saya sampaikan agar para aktifis da'wah dapat terhindar dari sandungan-sandungan yang membahayakan ini.


Jalan Da'wah adalah Jalan Satu-satunya

Tujuan da'wah Islam adalah li i'laa-i kalimatillah, untuk menegakkan syari'at Allah di muka bumi ini. Yaitu tegaknya suatu system kehidupan yang mengarahkan manusia pada suatu prosesi penghambaan hanya kepada Allah saja. Apabila syari'at Allah belum tegak, maka beragam prosesi penghambaan kepada selain Allah akan marak dan terus tumbuh subur.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hanya ada satu jalan, yaitu: jalan da'wah. Inilah jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan Rasul-Rasul sebelumnya, juga para shiddiqin, syuhada dan shalihin, sebagaimana wasiat Allah swt kepada Rasul-Nya:
"Dan inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah engkau ikuti jalan-jalan lain, karena itu semua akan menyesatkanmu dari jalan-Nya. Itulah yang telah diwasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-An'am:153)

Di atas jalan inilah Rasulullah beserta pengikut-pengikutnya melangkah, walaupun jalan tersebut berliku, terjal, penuh onak duri bahkan binatang-binatang buas yang siap menerkam. Beliau dan pengikutnya tidak akan berhenti hingga tidak ada lagi fitnah dan sistem Allah (Dienullah) tegak di muka bumi ini secara total.
"...hingga tidak ada lagi fitnah, dan Dien seluruhnya adalah milik Allah." (QS. Al-Anfal:39).

Sehubungan dengan ini Imam Hasan Al-Banna rahimahullah menyatakan, "Jalan da'wah adalah jalan satu-satunya. Jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya.Jalan yang juga dilalui para da'i yang mendapat taufiq Allah. Bagi kita, jalan ini adalah jalan iman dan amal, cinta dan persaudaraan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengajak para sahabat kepada iman dan amal. Menyatukan hati mereka dengan jalinan cinta dan persaudaraan. Maka, terhimpunlah kekuatan aqidah yang menjadi kekuatan wahdah (persatuan). Jadilah mereka jama'ah yang ideal. Kalimatnya pasti tegak dan da'wahnya pasti menang, walaupun seluruh penduduk bumi memusuhinya."

Beliau memilih jalan yang telah dilalui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ini dengan berlandaskan pada tiga kekuatan: kekuatan aqidah dan iman, kekuatan wahdah dan irtibath (jalinan yang kohesif), serta kekuatan senjata dan militer.

Beliau juga menentukan tahapan-tahapan perjuangan da'wah dan aktivitas gerakan, yaitu marhalah ta'rif (tahap pengenalan), marhalah takwin (tahap pengkaderan) dan marhalah tanfidz (tahap operasional). Disamping juga menetapkan target dan sasaran yang berjenjang melalui proses tarbiyah, yaitu:
• Terbentuknya pribadi muslim yang ideal
• Terwujudnya keluarga muslim yang bertaqwa
• Terbinanya masyarakat muslim yang responsif terhadap seruan Allah
• Tegaknya pemerintahan Islam yang berlandaskan syari'at Allah.
• Tegaknya Daulah Islamiyah di bawah koordinasi Khilafah Islamiyah, hingga menjadi tauladan dunia, dengan idzin Allah.
Demikianlah beliau dengan para ikhwan lainnya memahami dan mengamalkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dan dalam mengorganisir gerakan da'wahnya, beliau tentukan rukun bai'at yang sepuluh (arkaul bai'at al-‘asyarah), dan menjadikan faham (pemahaman) sebagai rukun bai'at yang pertama dan utama. Kemudian meletakkan prinsip-prinsip yang dua puluh, sebagai kerangka yang menjelaskan pemahaman ini.

Gerakan Ikhwanul Muslimin yang beliau dirikan inilah yang menginspirasi munculnya gerakan-gerakan Islam lain di seluruh penjuru dunia. Termasuk gerakan-gerakan Islam di Indonesia sebagian besar merujuk pada manhaj da'wah yang dirumuskan oleh para ulama Ikhwan.


Penyimpangan Dalam Gerakan Da'wah

Setelah mengalami berbagai kendala, ujian dan cobaan, alhamdulillah gerakan da'wah kita semakin diperhitungkan oleh banyak kalangan, terutama setelah gerakan ini memasuki mihwar siyasi (orbit politik) dengan memunculkan sebuah partai da'wah. Tentu banyak nilai positif yang dapat kita petik dari kehadiran partai da'wah ini, disamping ada pula ekses-ekses negatifnya, bagi da'wah itu sendiri.

Semakin besar dukungan masyarakat terhadap partai ini, tentu semakin besar pula beban tanggung jawab yang harus dipikul. Adalah manusiawi apabila dalam proses perjalanan gerakan da'wah di ranah politik ini ada oknum-oknum aktifis da'wah (da'i) yang tergelincir dari jalan da'wah ini. Apalagi apabila partai ini semakin besar, maka kans terjadinya penyimpangan di kalangan pengurus partai pun akan semakin besar. Oleh karenanya mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan da'wah menjadi keharusan, agar kita semua terhindar darinya.

Diantara bentuk-bentuk penyimpangan dalam gerakan da'wah ini adalah:


1. Penyimpangan dalam Ghayah (Tujuan)

Penyimpangan ini termasuk penyelewengan yang paling berbahaya. Tujuan da'wah secara moral adalah semata-mata karena Allah Ta'ala. Apabila ada motif selain itu, seperti motif-motif duniawi atau kepentingan pribadi yang tersembunyi, adalah penyimpangan.

Setiap penyimpangan tujuan, meskipun ringan atau kecil, tetap akan menyebabkan amal tersebut tertolak. Penyimpangan ini tidak harus berarti mengarahkan motif secara total ke tujuan duniawi. Tetapi sedikit saja niat yang ada di dalam hati bergeser dari Allah, maka sudah termasuk penyimpangan. Allah tidak akan pernah menerima amal seseorang kecuali yang ikhlas karena-Nya. (QS. Az-Zumar:3, 11-14, Al-Bayyinah:5)

Riya', ghurur (lupa diri), sombong, egois, gila popularitas, merasa lebih cerdas, lebih pengalaman, lebih luas wawasannya, lebih mengerti syari'ah dan da'wah, terobsesi asesoris duniawi, seperti: jabatan, kehormatan, kekuasaan, kekayaan; adalah penyakit-penyakit hati yang menyimpangkan para da'i dari tujuan da'wah yang sebenarnya.

Berda'wah itu harus bebas dari kebusukan. Barangsiapa yang berniat baik dan ikhlas, Allah akan menjadikannya sebagai pengemban da'wah. Barangsiapa menyimpan kebusukan di dalam hatinya, Allah sekali-kali tidak akan menyerahkan da'wah ini kepadanya.

Demikian pentingnya ikhlas ini hingga Imam Hasan Al-Banna rahimahullah menjadikannya salah satu dari rukun bai'at. Seluruh kader wajib berkomitmen dengannya. Menepati dan menjaganya dari segala noda, agar gerakan da'wah ini tetap bersih dan suci.

Menurut Imam Hasan Al-Banna rahimahullah, pengertian ikhlas adalah menujukan semua ucapan, perbuatan, perilaku dan jihadnya hanya kepada Allah semata; demi mencari ridha dan pahala-Nya, tanpa mengharapkan keuntungan, popularitas, reputasi, kehormatan, atau karir. Dengan keikhlasan ini seorang kader da'wah akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah; bukan pengawal kepentingan dan keuntungan.


2. Penyimpangan dalam Ahdaf (Sasaran Utama)

Imam Hasan Al-Banna rahimahullah menjelaskan sasaran yang hendak dituju, yakni menegakkan syari'at Allah di muka bumi dengan mendirikan Daulah Islamiyah, dan mengembalikan kejayaan Khilafah Islamiyah, sembari menyerukan Islam kepada seluruh manusia.

Dalam risalahnya yang berjudul "Bayna al-Ams wa al-Yaum" ("Antara Kemarin dan Hari ini"), Imam Al-Banna rahimahullah mengatakan:
"Ingatlah! Kalian mempunyai dua sasaran utama yang harus diraih: Pertama, membebaskan bumi Islam dari semua bentuk penjajahan asing. Kemerdekaan, adalah hak asasi manusia. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang zhalim, durhaka dan tiran.

Kedua, menegakkan di Negara yang dimerdekakan itu, berupa Negara Islam Merdeka, yang bebas melaksanakan hukum-hukum Islam, menerapkan sistem sosial, politik, ekonominya, memproklamirkan Undang-Undang Dasarnya yang lurus, dan menyampaikan da'wah dengan hikmah. Selama Negara Islam belum tegak, maka selama itu pula seluruh umat Islam berdosa, dan akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Disebabkan keengganan mereka menegakkan syari'at dan Negara Islam, serta ketidakseriusan mereka dalam upaya mewujudkannya."

Dalam risalah Al-Ikhwan Al-Muslimun "Di bawah bendera Al-Qur'an", beliau menjelaskan tugas dan target gerakan da'wah ini:
"Tugas besar kita adalah membendung arus materialisme, menghancurkan budaya konsumerisme dan budaya-budaya negatif yang merusak umat Islam. Materialisme dan konsumerisme menjauhkan kita dari kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan petunjuk Al-Qur'an, menghalangi dunia dari pancaran hidayah-Nya, dan menunda kemajuan Islam ratusan tahun. Seluruh faham dan budaya tersebut harus dienyahkan dari bumi kita, sehingga umat Islam selamat dari fitnahnya.

Kita tidak berhenti sampai di sini. Kita akan terus mengejarnya sampai tempat asalnya, dan menyerbu ke markasnya, hingga seluruh dunia menyambut seruan baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian dunia ini terselimuti ajaran-ajaran Al-Qur'an, dan nilai-nilai Islam yang teduh menaungi seisi bumi. Pada saat itulah sasaran dan target kaum Muslimin tercapai."

Dalam menyoroti keadaan negeri-negeri Muslim sekarang ini beliau menyatakan dengan gamblang:
"Sungguh ini merupakan kenyataan yang dapat kita saksikan. Idealitas Undang-Undang Dasar Islam berada di satu sisi, sedangkan realitas objektifnya berada di sisi lain. Karena itu ketidakseriusan para aktifis da'wah untuk memperjuangkan diberlakukannya hukum Islam adalah suatu tindakan kriminal; yang menurut Islam tidak dapat diampuni dosanya kecuali dengan upaya membebaskan sistem pemerintahan dari tangan pemerintah yang tidak memberlakukan hukum-hukum Islam secara murni dan konsekuen."

Demikianlah ahdaf (sasaran utama) dari gerakan da'wah ini dirumuskan oleh tokoh utama dan pemimpin gerakan da'wah kotemporer, Imam Hasan Al-Banna rahimahullah.

Jadi, apabila ada aktifis da'wah (da'i) yang menyatakan bahwa partai da'wah ini tidak akan memperjuangkan syari'at Islam, dengan alasan apapun (politis maupun diplomatis), jelas telah menyimpang dan menyeleweng dari sasaran gerakan da'wah yang utama. Mestinya mereka justru menyebarkan opini tentang kewajiban menegakkan syari'ah bagi setiap muslim, secara massif, bukan malah menyembunyikanya. Apalagi di era reformasi yang setiap orang bebas bicara apa saja karena dilindungi Undang-Undang.

Kemudian, apabila partai da'wah berkoalisi dengan partai, organisasi, atau komunitas lain yang berbasis ideologi asing, juga telah menyimpang. Karena tugas gerakan da'wah Islam adalah membebaskan umat dari penjajahan atau dominasi asing, baik itu ideologi, politik, ekonomi, maupun sosial. Bukan malah bekerjasama dalam ketidakjelasan maksud dan tujuan.

Para kader da'wah atau da'i yang terpengaruh kemudian menganut paham materialisme dan gaya hidup konsumerisme juga telah menyimpang dan menyeleweng dari sasaran gerakan da'wah ini. Mereka seharusnya memberi contoh berupa keteladanan hidup yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sederhana dan santun dalam keinginan dan kebutuhan.

Kesalahan dan dosa mereka hanya bisa ditebus dengan menyosialisasi kewajiban menegakkan syari'at kepada seluruh elemen umat, dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh; serta menghindari diri dari sikap dan perilaku materialistis dan konsumtif.


3. Penyimpangan dalam Pemahaman

Salah satu persoalan mendasar dalam gerakan da'wah adalah: Pemahaman. Pemahaman yang benar dan utuh tentang Islam dan manhaj da'wah Islam menjadi krusial, sebab kekeliruan pemahaman akan Islam dan manhaj da'wahnya menjadikan gerakan ini berbelok arah, sehingga tidak akan pernah sampai ke tujuan.

Imam Al-Banna rahimahullah memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan pemahaman ini. Ia curahkan segenap kemampuannya untuk menyuguhkan Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam wujudnya yang bersih dari segala bentuk penyimpangan, baik dalam hal aqidah, ibadah dan syari'ah. Terhindar dari pertentangan yang dapat memecah belah umat, dan distorsi hakikat Islam yang dilakukan para musuh Islam di masa lalu maupun kini. Dan beliau menjadikan pemahaman ini rukun bai'at yang pertama dan utama.

Bentuk-bentuk penyimpangan dalam pemahaman ini, antara lain:
a. Mengadopsi pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan pemahaman yang benar tentang Islam, Al-Qur'an dan Sunnah shahih, melontarkan dan menyosialisasikan pemikiran aneh tersebut sehingga membuat bingung umat.

b. Menolak hadits-hadits shahih dan hanya menerima Al-Qur'an saja. Mengutamakan rasionalitas ketimbang hadits-hadits shahih, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara tendensius tanpa kaidah-kaidah yang benar.

c. Memaksakan semua kader da'wah untuk mengikuti satu pendapat ijtihadiyah dalam masalah furu' yang memiliki beberapa penafsiran pendapat. Pemaksaan seperti ini akan mengubah gerakan/jama'ah da'wah menjadi firqah, atau madzhab tertentu; yang bukannya tidak mungkin akan dengan mudahnya mengeluarkan statement: "Siapa yang sependapat dengan kami maka dia adalah golongan kami. Yang tidak sependapat, dia bukan golongan kami, maka pergilah menjauh dari kami."

Perlu diingat bahwa gerakan da'wah ini didirikan bukan atas dasar madzhab tertentu dalam masalah furu'. Gerakan ini harus dapat merekut semua umat Islam untuk mempersatukan mereka dalam bingkai aqidah.

Dalam menghadapi masalah-masalah furu' ini, hendaknya diambil yang lebih kuat dalil dan argumentasinya, dan tidak mengecilkan atau menyepelekan pendapat orang lain, meskipun ia berada di luar orbit gerakan da'wah ini. Islam mengajarkan kita melihat content (esensi) pendapatnya, bukan siapa yang berpendapat.

d. Memperbesar masalah-masalah juz'iyah dan far'iyah, dengan mengenyampingkan masalah kulliyat (prinsip).
Imam Hasan Al-Banna rahimahullah telah menghimbau kita agar kembali kepada kaidah bijaksana: "Hendaknya kita bekerjasama dalam hal yang disepakati, dan saling tenggang rasa dalam masalah yang masih diperselisihkan."

e. Membatasi gerakan da'wah ini membicarakan Islam dalam hal-hal tertentu yang tidak menyinggung para penguasa pemerintahan maupun para pemimpin gerakan da'wah Islam. Padahal kita diwajibkan menyuguhkan Islam secara utuh, mengajak dan mengamalkannya secara utuh pula.


4. Penyimpangan dalam Khiththah (Langkah-Langkah Strategis)
a. Mengikuti Pola Partai Politik Sekuler.

Dalam hal ini menjadikan politik sebagai panglima, bukan lagi da'wah. Menitik beratkan pada faktor kuantitas pendukung (bukan kualitas), dengan tujuan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu.

Ini merupakan penyimpangan yang membahayakan bangunan da'wah. Sasaran kita bukan sekedar mencari orang yang mau memberkan suaranya di pemilu, tetapi kita membutuhkan orang yang siap mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah.

Kita membutuhkan orang yang sabar, mau berkorban, tabah, bersedia menanggung beban-beban da'wah, memahami kepentingannya dan bertanggung jawab terhadap amanah yang dibebankan kepadanya.

Kita menginginkan orang-orang yang mencari akhirat, bukan mereka yang memburu pangkat. Kita mencari orang-orang yang rindu kampung surgawi, bukan orang-orang yang memburu kekuasaan duniawi. Kita menginginkan orang-orang yang kommit dengan nilai-nilai syar'i, bukan orang-orang yang terobsesi kursi. Kita menginginkan orang-orang yang selalu ingat akan janji Allah, bukan orang yang cepat lupa dengan janji-janji yang dia lontarkan pada waktu kampanye.

Kita tidak menginginkan gerakan da'wah ini dikuasai oleh orang-orang yang berambisi kekuasaan dan harta semata, dengan segala kewenangan dan fasilitasnya. Kita juga tidak butuh orang-orang yang gemar melakukan lompatan-lompatan yang tidak syar'i untuk meraih ambisi-ambisi pribadinya. Tetapi kita butuh orang-orang yang akan bekerja menegakkan Dienullah, dan beriltizam pada syari'at serta menjauhi cara-cara pencapaian tujuan yang tidak syar'i.

b. Mengabaikan Faktor Tarbiyah

Tiadanya perhatian yang layak terhadap tarbiyah akan menyebabkan rendahnya tingkat pemahaman setiap individu, yang pada gilirannya tidak akan melahirkan kader yang mampu membantu meringankan beban jama'ah. Tarbiyah berpengaruh terhadap ketahanan kader dalam menghadapi tantangan dan tuntutan amal di jalan da'wah, baik pada saat-saat kritis yang membutuhkan pengorbanan, maupun ketika panggilan jihad telah dikumandangkan.

Penyebab terabaikannya faktor tarbiyah:

i. Aktifitas politik mendominasi seluruh amal da'wah, sehingga waktu, tenaga, fikiran dan dana tersedot ke aktifitas tersebut.

ii. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan murabbi, dan naqib, sehingga menyebabkan rendahnya kualitas pembinaan kader yang berujung pada stagnasi pertumbuhan kader.

iii. Usrah atau halaqah berubah menjadi forum sosialisasi qadhaya, bukan solusi qadhaya. Usrah hanya menjadi forum mencari info dan pengumuman, padahal semestinya sebagai wadah pembinaan, pembentukan serta perbaikan akhlak, ruhani dan intelektualitas.

iv. Usrah atau halaqah hanya menjadi wadah untuk membentuk kader-kader da'wah yang tak siap berdialog secara kritis dan analistis, karena lebih ditekankan metode indoktrinasi, ketimbang diskusi.

c. Mengabaikan Prinsip "The Right Man on The Right Place" dalam penyusunan struktur jama'ah da'wah.

Penyimpangan lain yang berbahaya adalah menempatkan kader pada struktur jama'ah yang tidak sesuai potensi dan kemampuannya, tetapi berdasarkan "like and dislike". Juga memberi amanah atau tugas kepada kader yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Hal ini dapat merusak efektifitas gerakan serta menyeret pada ekses-ekses yang dapat melemahkan eksistensi jama'ah dan mempermudah timbulnya berbagai penyakit lain.

d. Menerima Prinsip dan Ideologi Sekuler

Rabbaniyah adalah prinsip dasar da'wah setiap gerakan Islam. Da'wah pada hakikatnya memperjuangkan nilai-nilai Rubbubiyah, Uluhiyah, Mulkiyah dengan cara-cara yang diizinkan Rabb dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, oleh kader-kader Rabbani (para Murabbi dan mutarabbi), demi mencari ridha Allah. Dengan demikian kita tidak boleh menerima prinsip dan ideologi Sekularisme, Nasionalisme, Pluralisme, Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme juga Sosialisme, walaupun diberi embel-embel Islam di belakangnya.

e. Membiarkan Jama'ah Dipimpin dan Dikuasai Orang yang Tidak Jelas

Gerakan Islam harus memiliki kepribadian Islam yang jelas, dalam pemahaman, tujuan, langkah dan keputusan-keputusannya. Ia tidak boleh tunduk kepada penguasa. Tidak boleh tergiur oleh harta dan tahta. Musuh-musuh gerakan Islam memiliki cara tertentu untuk menghancurkan gerakan da'wah. Apabila cara-cara fisik dianggap tidak efektif meredam laju gerakan da'wah, maka adakalanya mereka menggunakan cara yang lebih halus tetapi daya rusaknya hebat. Seperti misal, menyusupkan agen intelijen ke dalam saf gerakan Islam. Agen ini berusaha untuk diterima seluruh elemen jama'ah, menempel pada qiyadah jama'ah, mempengaruhinya dalam setiap pengambilan keputusan, dan secara licin dan lihai membelokkan arah gerakan ini menuju lembah kebinasaan. Sejarah keruntuhan kekhalifahan Utsmaniyah di Turki, karena disusupi intelijen Yahudi, mestinya menjadi pelajaran berharga bagi setiap gerakan Islam.

f. Berpartisipasi dalam Pemerintahan yang Tidak Menjalankan hukum Allah

Pada dasarnya kita tengah berupaya menjalankan hukum Allah dan tidak akan menyetujui hukum atau aturan apapun yang bertentangan dengan syari'at Allah.

Tidak dapat dibenarkan kader gerakan Islam ikut masuk dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak menjalankan syari'at Islam, apalagi apabila dia tidak mampu mempengaruhi pemerintahan tersebut, dan bahkan menjadi terpengaruh oleh sistem yang tidak islami. Sikap ini termasuk penyimpangan dari tujuan gerakan Islam ini.

Mungkin dalam situasi kondisi tertentu, atas izin jama'ah, setelah melalui pertimbangan syari'ah dan politik yang matang, diperlukan ikut serta dalam pertimbangan. Dengan pengertian pemerintahan tersebut dalam transisi menuju terbentuknya sistem pemerintahan Islam yang sempurna. Hal ini dapat dibenarkan dengan syarat ada kontrak politik tertulis berupa jaminan bahwa pemerintah setuju untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini tidak boleh diserahkan kepada ijtihad pribadi. Apabila kesepakatan itu dilanggar, maka kita harus segera melepaskan diri dari partisipasi tersebut, agar tidak tertipu dan tergelincir dari tujuan gerakan da'wah yang mulia ini.

g. Berkoalisi dengan Pihak Lain dengan Mengorbankan Prinsip dan Tujuan Da'wah

Dengan sebab dan alasan apapun, tidak dibenarkan mengadakan koalisi dengan pihak-pihak yang tidak memiliki kesamaan ideologi, visi dan misi dalam memperjuangkan tegaknya syari'at Allah. Apalagi jika koalisi tersebut harus mengorbankan prinsip-prinsip Islam yang akan diwujudkan melalui perjuangan kita selama ini.
"Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, maka mereka pun bersikap lunak pula kepadamu." (QS. Al-Qalam:9)

Begitu pula, tidak dibenarkan melakukan koalisi sdengan mengorbankan sasaran dan target yang selama ini kita berusaha mencapainya. Kalau hal ini dilakukan, berarti kita telah menjurus kepada penyimpangan dan pergeseran dari prinsip, serta menyeret semua amal dan pengorbanan ke arah yang tidak benar. Bahkan meratakan jalan bagi musuh untuk menguasai dan menentukan arah dan langkah pergerakan kita.

Karena itu, menjadi kewajiban kita semua untuk mengingatkan agar jangan mengangkat orang-orang yang tidak jelas ideologi perjuangannya menjadi pemimpin. Jangan memberi dukungan kepada orang-orang yang zhalim dan korup. Jangan tunduk kepada mereka karena iming-iming harta dan posisi. Jangan mengadakan perjanjian yang akan membahayakan eksistensi gerakan Islam. Mari kita berhati-hati, dan tidak memberikan kepercayaan, dukungan dan loyalitas kepada musuh-musuh Allah. Allah telah mengingatkan:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, walaupun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan ke dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pu ridha terhadap Allah. Mereka itulah Hizbullah (Partainya Allah). Ketahuilah bahwa sesungguhnya Partai Allah itulah yang akan memperoleh kemenangan." (QS. Al-Mujadalah:22)

h. Mengabaikan Prinsip dan Keputusan Syura

Allah mewajibkan syura kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, meskipun beliau telah mendapat wahyu. Beliau selalu melaksanakan syura bersama para sahabatnya karena perintah Allah dan sebagai tasyri' bagi umat Islam. Untuk itulah, beliau mengikuti pendapat Habbab dalam perang Badar, dan mengikuti usulan Salman dalam perang Khandaq.

Syura penting kedudukannya dalam gerakan Islam dan "amal jama'i". Dengan syura akan diperoleh pendapat yang lebih matang dan benar. Ia memberi kesadaran akan dasar-dasar keikutsertaan dalam tanggung jawab. Syura juga menumbuhkan suasana saling percaya dan kerjasama antara semua anggota jama'ah.

Setiap individu dalam gerakan Islam dituntut agar bersifat positif dan aktif dalam da'wah. Ia harus ikut memikirkan, memberikan pandangan-pandangan dalam mewujudkan kemanfaatan, menghindari kemuidharatan, serta membantu qiyadahnya dengan pemikiran, ide, gagasan, serta nasihat, sesuai dengan adab da'wah.

Kepada para qiyadah, apapun jabatannya, harus bermusyawarah dengan para kadernya. Memanfaatkan pandangan dan pemikiran mereka dalam menghadapi persoalan dan kemelut. Berlapang dada dalam menerima nasihat yang diberikan kader, walaupun dirasa pahit dan caranya kurang berkenan, agar da'wah tidak kehilangan kebaikan yang terkandung di dalam nasihat tersebut.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kedua amirul mukminin Abu Bakar radhiyallahu 'anhu dan Umar radhiyallahu 'anhu yang ketika memberi sambutan di hari pelantikannya sebagai Khalifah, keduanya meminta teguran rakyat atas segala bentuk penyelewengan.

Amirul mukminin Umar radhiyallahu 'anhu bersikap lapang dada terhadap seorang rakyat yang berkata lantang kepadanya di hadapan masyarakat banyak: "Kalau kami melihat Anda melakukan penyimpangan, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami!"

Pelanggaran terhadap prinsip dan keputusan syura yang dilakukan qiyadah, apapun jabatannya, ilmu dan keahliannya, disamping menyimpang dari khiththah perjuangan, juga berarti pengkhianatan terhadap misi da'wah.

Begitu pula bagi para kader yang bersikap pasif, tidak memberikan pendapat, masukan dan nasihat kepada qiyadah, serta merasa tidak bertanggung jawab atas masalah tertentu yang strategis, adalah bentuk penyimpangan dan pelanggaran atas prinsip syura dalam da'wah.

Di antara bentuk penyimpangan lain dari prinsip syura yang berbahaya adalah menjadikan syura sebagai formalitas belaka yang kering dari esensi. Ada Majelis Syura, namun pembentukannya diintervensi dan keputusannya direkayasa oleh pihak-pihak tertentu. Islam menolak segala bentuk manipulasi dan penipuan. Sangat ketat dalam proses pemilihan anggota Majelis Syura, karena mereka bukan saja bertanggung jawab kepada jama'ah; tetapi juga kepada rakyat dan yang paling penting kepada Allah Yang Maha Tahu. Pemilihan anggota majelis syura harus melibatkan semua kader dan elemen jama'ah, dengan mempertimbangkan kebenaran, keadilan dan keridhaan Allah, bukan keridhaan qiyadah. Barangsiapa melanggar hal ini, berarti telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.

Demikianlah sebagian dari bentuk-bentuk penyimpangan dalam gerakan Islam yang dapat menggelincirkan kita dari tujuan da'wah yang mulia dan suci. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari hal-hal tersebut di atas. Hasbunallahu wani'mal wakil, ni'mal mawla wa ni'man-nashir.

sumber: my folder/dakwah/ust. Abu Ridho