Bicaralah dengan Bahasa Hati

Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta.
Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang.
Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan.
Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan.
Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran.
Semua itu haruslah berasal dari hati anda.

Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula.
Kesuksesan bukan semata-mata betapa keras otot dan betapa tajam otak anda,
namun juga betapa lembut hati anda dalam menjalani segala sesuatunya.

Anda tak kan dapat menghentikan tangis seorang bayi hanya dengan merengkuhnya dalam lengan yang kuat. Atau, membujuknya dengan berbagai gula-gula dan kata-kata manis. Anda harus mendekapnya hingga ia merasakan detak jantung yang tenang jauh di dalam dada anda.

Mulailah dengan melembutkan hati sebelum memberikannya pada keberhasilan mu.

Sabtu, 09 Agustus 2008

Introspeksi Diri


Ramadhan 1429 H akan datang. Kita sekarang berada dalam waktu penentu keberhasilan kita dalam menjalankan ramadhan ini.., selanjutnya proses pengolahan diri kita ada di bulan ramadhan dan hasilnya ada di bulan syawal.., ikhwah..mari kita koreksi dan intropeksi diri kita melalui amalan-amalan utama dan sunnah serta rutinitas yg biasa kita lakukan..mari kita benahi kualitas dan kuantitas ibadah kita... yang tentu saja harapan baru yang tidak melambung tanpa dasar, melainkan yang realistis. Untuk itu, seyogianya kita melakukan introspeksi diri agar langkah awal menuju titik harapan juga realistis.

Introspeksi diri adalah salah satu aktivitas mental mandiri yang kita lakukan untuk menguraikan, menjabarkan, menganalisa, mensintesakan serta menilai hal apa yang kita telah lakukan dengan hasil yang sukses atau justru dengan hasil yang gagal. Introspeksi diri dimaksudkan untuk menentukan langkah awal menjalani hidup setelah ramadhan. Untuk itu kita membutuhkan kejujuran terhadap diri sendiri.

Jujur terhadap diri sendiri bukanlah suatu sikap yang sederhana dan mudah, karena sering terjadi kita tersudut pada situasi yang tanpa kita sadari mendorong kita yang pada awalnya oleh berbagai sebab untuk tidak jujur terhadap orang lain dan sayangnya berakhir dengan menjadi tidak jujur kepada sendiri.

Tentu saja sikap tidak jujur secara berlanjut bisa membuat kita tidak lagi mengenali diri kita. Kita jadi tidak tahu, apa yang sebenarnya kita inginkan, apa yang sebenarnya kita rasakan dan apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan dan apa yang sebenarnya menurut kita adalah yang terbaik bagi diri kita.

Banyak hal yang menyebabkan kita menjadi tidak kenal diri sendiri, seperti antara lain berikut ini.

l. Tuntutan kultural

Sistem budaya di mana kita berada sering menuntut kita untuk bersikap sopan penuh basa basi dan sejauh mungkin tidak membuat orang menderita, atau tidak membuat orang lain tersinggung perasaannya. Untuk itu maka kita dituntut pula dengan cepat dan terampil merekayasa mengomunikasikan kenyataan dengan cara yang tidak terlampau menyakitkan atau menyinggung perasaan orang lain.

2. Marah

Ungkapan kemarahan sering dianggap sebagai emosi negatif yang kurang dibenarkan terungkap secara gamblang. Demi menjaga reputasi sosial maka sikap ketidaksetujuan tentang sesuatu akan lebih sopan bila dinyatakan dalam bentuk sindiran. Marah tehadap kesalahan orang lain bisa di minimalisir dengan kita memandang diri kita tidak sesempurna yang kita bayangkan..mereka juga manusia pasti ada kesilafan sebagai hamba Allah yg dhoif....kita sebagai manusia tidak pantas marah atas kesalahan orang lain..maafkan lah ia ikhwah,,. Jadikan diri kita yg halim.contoh: marah ketika seorang ikhwah melakukan kesalahan terhadap perjalanan dakwah, kemudian mengecam ia sebagai manusia yg merusak dakwah..dan menyimpan dendam yg tersirat (dimuka tak kelihatan, di hati masih merasa) memang..pagar yg dipaku kemudian dicabut kembali pasti meninggalkan lubang, bekas yg tertinggal..tapi ikhwah...kita semua butuh sokongan dan pengertian..kita semua makhluk sosial,, menolong antar satu dengan yang lain dalam kebaikan itu adalah kewajiban..memaafkan adalah sikap yg terpuji dan dapat membawa kita menjadi ahli surga.. insyaAllah, amin..Allahualam..

3. Takut berbuat salah

Kritikan atau kemarahan bahkan lecehan yang sering kita hadapi saat kita dinilai salah/gagal dalam melakukan sesuatu hal pada masa lalu, sering membuat kita takut mengulang kesalahan dan memilih tidak berbuat apa pun atau tidak mengungkapkan perasaan apa pun demi keselamatan diri.

4. Ketegaran

Kesedihan dan keluhan sering dinilai sebagai kelemahan. Untuk itu, demi terlihat tegar dan terkesan sebagai orang kuat, maka kita selalu merasa dituntut untuk berupaya menyembunyikan kesedihan, kegalauan dengan berpura-pura bersikap ceria, seolah tidak mengalami penderitaan apa pun.

5. Kesenjangan antara ego ideal dan ego nyata

Kesenjangan ini akhirnya membuat kita cenderung memaksakan diri bersikap, berperilaku mendekati ego ideal karena menyadari ego nyata yang biasanya di bawah tahapan ego ideal yang kita dambakan, maka kita akan memaksakan diri untuk meraih ego ideal yang biasanya terkait dengan ambisi menggebu yang sering berada di atas potensi diri yang kita miliki. Kondisi ini akhirnya akan membuat kita hidup dalam angan-angan.

Kesemuanya itulah yang akan mendorong kita pada kondisi tidak kenal diri dan tidak tahu apa yang sebenarnya kita maui dan kita inginkan. Tentu saja perasaan frustrasi akan dengan sendirinya kita rasakan, serentak setelah kita tidak tahu siapa diri kita, di mana kita seharusnya berada. Galau, gamang, tidak menentu, cemas, kesepian, akan silih berganti mengisi relung hati kita. Nah, dalam situasi ini kita perlu introspeksi diri, apalagi bila kemudian kita menyadari bahwa waktu tidak menunggu kita. Tiba-tiba saja kita disadarkan bahwa ramadhan telah tiba,,,bulan ampunan dan penuh berkah.

Kiat introspeksi diri

Introspeksi diri dapat kita lakukan dengan cara sistematis. Kita seyogianya mulai memahami bahwa terdapat peta kemanusiaan dalam diri yang terdiri dari aspek kalbu sebagai pusat, inti, bahkan hakekat dari kemanusiaan itu sendiri. Keberadaan kalbu menyadarkan kita pada hubungan vertikal antara diri dan Tuhan Yang Maha Esa. Tanyakan dalam diri, seberapa dalamkah penghayatan kita tentang hubungan vertikal ini selama ini? Upaya apakah yang telah kita lakukan guna menguatkan hubungan vertikal ini dengan harapan peningkatan kokohnya penghayatan eksistensi diri kita, sebagai pribadi otonom.

  • Aspek kognisi. Seberapa jauhkah prestasi intelektual yang selama ini sudah kita raih. Sudahkah kita memanfaatkan potensi intelektual kita secara optimal?
  • Aspek konasi. Seberapa tekunkah kita dalam berupaya meraih prestasi kerja optimal? Apakah kita tipe orang yang terlalu cepat merasa puas dengan apa adanya. Sejauh mana kita berupaya meningkatkan ketekunan berusaha untuk bisa meraih prestasi optimal?
  • Aspek emosi. Seberapa besar pengaruh emosi dalam pencapaian prestasi sosial kita, seberapa beranikah kita menempatkan diri dalam posisi sosial yang pas untuk diri kita, tanpa mengusik ketenteraman lingkungan di mana kita berada? Seberapa asertifkah kita dalam mengungkapkan perasaan dan isi pikiran kita pada lingkungan di mana kita berada, sehingga terasa ringan di dada?
  • Aspek nilai dan tatanan sosial. Seberapa jauhkah kesenjangan antara nilai diri dengan nilai sosial di mana kita berada. Seberapa besarkah kemampuan kita dalam mengintegrasikan kedua tatanan nilai tersebut dalam perilaku sosial kita, tanpa membuat diri kita merasa tertekan dan tanpa mengusik lingkungan di mana kita berada?
  • Aspek fisik. Seberapa jauhkah kita memikirkan dan mempertimbangkan pola hidup kita untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik yang akan menunjang kesejahteraan fisik dan sekaligus mental kita?
  • Nah, dengan bantuan sistematika introspeksi diri yang sederhana tersebut, kita bisa menentukan langkah awal yang relatif lebih lugas dan jelas dalam meniti langkah lanjut setelah ramadhan ini, demi masa depan, yang mudah-mudahan lebih menjanjikan. Amien. Mohon maaf lahir bathin...

Tidak ada komentar: